Baru akhir November kemarin senar raket saya putus. Gampang sih, tinggal nyenarin lagi di toko olahraga langganan. Tapi nasib, jika raket yang baru ganti senar itu kemudian malah patah hanya beberapa kali pakai. Senarnya sih masih awet, frame raketnya yang patah. Seperti kata pepatah yang dijadikan judul lagu oleh Banda Neira, grup duo Ananda Badudu dan Rara Sekar, katanya: yang patah tumbuh hilang berganti, raket itu gak perlu ditangisi. Sudah waktunya ganti setelah sekian lama digantung dan baru dimainkan lagi justru pas musim pandemi.

Omong-omong soal yang patah tumbuh yang hilang berganti-nya Banda Neira, liriknya keren lho. Coba simak:
Jatuh dan tersungkur di tanah aku Berselimut debu sekujur tubuhku Panas dan menyengat Rebah dan berkarat Yang ... Yang patah tumbuh, yang hilang berganti Yang hancur lebur akan terobati Yang sia-sia akan jadi makna Yang terus berulang suatu saat henti Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi Yang patah tumbuh, yang hilang berganti Di mana ada musim yang menunggu? Meranggas merapuh Berganti dan luruh Bayang yang berserah Terang di ujung sana Yang ... Yang patah tumbuh, yang hilang berganti Yang hancur lebur akan terobati Yang sia-sia akan jadi makna Yang terus berulang suatu saat henti Yang pernah jatuh 'kan berdiri lagi Yang patah tumbuh, yang hilang berganti Yang patah tumbuh, yang hilang berganti Yang hancur lebur akan terobati Yang sia-sia akan jadi makna…
Keren? Coba sambil menyimak keseluruhan lagunya di sini.
Begitulah. Senar raket putus tak bisa disambung harus diganti senar yang baru. Raket yang patah tak bisa diapa-apain lagi ya harus dibelikan raket baru supaya bisa terus bermain.
Selain senar dan raket, kira-kira apa yang menautkan ‘putus’ dan ‘patah’?
Hati?
Kok hati?
Kan jadinya: yang patah hati, yang putus tali silaturahmi. Eh.
[kkpp, 02.01.2021]