Indonesiana

Tujuh Puluh Empat Tahun Merdeka

Agustus berlalu. Bendera-bendera, umbul-umbul, lampu dan lampion telah dikemas. Barang kali bisa digunakan pada perayaan tahun depan. Persis seperti apa yang kita lakukan pada tahun-tahun yang lalu. Sambil menyimpan itu semua, ada hal yang mengganjal buat saya setelah membaca di linimasa: tujuh puluh empat tahun kita merdeka, masih perlukah kita meneriakkan ‘merdeka’ dengan mengacungkan tangan penuh semangat?

tujuh puluh empat tahun kita merdeka, masih perlukah kita meneriakkan ‘merdeka’ dengan mengacungkan tangan penuh semangat?

Buat saya, jawaban atas pertanyaan itu ya simpel simpel gak simpel. Sebagaimana menjawab perlukah kita memperingati hari kelahiran kita. Bagi sebagian orang momen itu penting dan perlu dirayakan dengan berbagai cara. Ada yang penuh ‘glamour‘, ada yang sederhana. Ada yang merayakannya dengan membikin buku seperti Hermawan Kertajaya dengan “Citizen 4.0”-nya. Ada yang ingin merayakannya dengan ingin terlihat sebagai sosok yang bersahaja dan murah hati tetapi sembari malah memamerkannya di hadapan mereka-mereka yang tak mampu membikin acara ulang tahun sambil berharap doa dari yang dipameri. Macam-macam keinginan orang, termasuk merayakan dengan tak ingin merayakannya.

Kita terlanjur dilahirkan tanpa bisa memilih tanggal kelahiran dan di mana dilahirkan. Begitu halnya kita terlanjur dilahirkan di era kemerdekaan, di negara yang disepakati bernama “Indonesia” yang telah merdeka. Mungkin masih ada di antara rakyat republik ini yang masih sempat mencecap jaman pendudukan Jepang pun mungkin ada juga yang pernah merasakan bagaimana jaman penjajahan Belanda. Ada, dan percayalah, jumlahnya akan terus berkurang. Dari mereka-mereka itu, kita sempat mendengarkan langsung kisah herois dan bisa jadi kisah menyedihkan.

Lantas, seberapa penting arti kemerdekaan bagi kita yang tak pernah mencecap udara tak merdeka?

seberapa penting arti kemerdekaan bagi kita yang tak pernah mencecap udara tak merdeka?

Mungkin itu jawaban dari quote yang menjadi awal postingan ini. Pertanyaan berjawab pertanyaan lainnya. Simple tetapi bisa jadi tidak se-simple itu. Bagaimana tidak, karena setiap orang berhak untuk mempunyai jawaban atas jawaban tadi. Bukankah kita adalah individu yang merdeka?

Bebas. Anda bebas mempunyai jawaban. Begitu pun yang lainnya. Tapi mari kita perbincangkan. dengan sepenuh kehangatan. Tanpa makian, tanpa provokasi atas perbedaan suku, agama dan ras. Tanpa tendensi harga mati.

Tujuh puluh empat tahun mestinya cukup panjang untuk memperbincangkan tentang keindonesiaan. Tujuh puluh empat tahun mestinya cukup untuk menyepakati kesepakatan-kesepakatan berbangsa dan bernegara lantas bergerak maju untuk sejajar dalam peradaban dunia sebagaimana negara-negara lain. Tetapi rupanya, kurun waktu itu terasa pendek. Indonesia yang saya cintai ini (semoga Anda juga begitu) tak kunjung usai memperbincangkan banyak hal.

Agustus berlalu. Ada kejadian-kejadian sepanjang bulan ini di tahun ini yang membuat saya merasa perlu memperbincangkan kembali tentang Indonesia. Ada kegaduhan karena provokasi video tiga tahun lalu yang sengaja diungkit kembali untuk menyinggung keimanan umat lain. Ada kerusuhan yang berawal dari adab bertetangga terkapitalisasi polah jumawa aparat keamanan lantas viral dan membakar sentimen ras dan separatisme. Ada juara dunia bulutangkis yang terlupa padahal ia menorehkan rekor sebagai atlet tertua yang pernah menggapai puncak dunia. Ada pembahasan rencana ibukota yang tak lagi di Jakarta. Dan jangan lupa, ada pemutaran film yang diangkat dari novel yang dulu bacanya harus sembunyi-sembunyi dari incaran aparat, kini dipertontonkan di layar sinema yang di awal filmnya penonton diminta berdiri karena diperdengarkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dan film itu kabarnya telah menembus jutaan pemirsa sebelum Agustus berlalu. Film itu berjudul Bumi Manusia.

Agustus berlalu dan kita harus terus memperbincangkan Indonesia. Jangan pernah bosan memperbincangkannya, karena tujuh puluh empat tahun merdeka menuliskan “dirgahayu” saja kita masih banyak yang salah kaprah.

Jadi, meski Agustus berlalu dan telah bergulir jadi September, ijinkan saya mengucap: Dirgahayu Indonesia! Mari berbincang penuh kehangatan karena Indonesia punya kita bersama.

[kkpp, 02.09.2019]

Standar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s