Sedih bener. Barusan chatting dengan seorang kawan, yang kepadanya saya belajar tentang kejujuran dan kemauan belajar yang besar. Ia berkisah bahwa sedang mencari pekerjaan baru karena menjadi korban sengkuni di kantornya.
Sedih bener. Malam ini nama salah satu sosok di kisah Mahabharata muncul di ruang whatsapp saya dengan sang kawan. Sengkuni. Ya, sang kawan menyebut nama sengkuni di curcolnya. Sengkuni. Ia boleh mati di hari ketujuh belas Perang Mahabharata, dicerai-beraikan oleh Bima. Tapi pewujudannya masih saja ada. Saya pernah bertemu. Anda mungkin juga pernah bertemu.
Kelicikan, keculasan, sepertinya bukanlah hal yang langka. Ia ada di sekitar kita layaknya serpihan-serpihan Sengkuni yang dibuang Bima ke berbagai penjuru. Roh kelicikan itu mengalir di udara yang haus akan kuasa dalam setiap hembusan nafas keserakahan dunia.
Mestinya kelicikan dan keculasan itu bisa kita lawan. Sebagaimana Bima pernah menjadi korban dari Sengkuni, tetapi di akhir cerita Bima-lah yang mengakhirinya.
Menjadi Bima tak serta merta. Tetapi, kita bisa menjadi Bima.
Kawan, jadilah Sang Bima! Dengan kejujuranmu dan kemauan belajarmu, aku percaya engkau akan menemukan dimana bimamu.
Meski belum bisa bantu mencarikan ladang, hanya sebuah doa, semoga lekas menemukan ladang yang lebih baik.
Sengkuni, sengkuni … kok ya belum punah juga.
Bima, kau ada di mana?
[kkpp, 20.01.2018]