Indonesiana, Liverpool

Jangan (berhenti) Berharap

Tujuhbelasan kali ini sepertinya bakal dikenang oleh Nuha. Wajahnya sumringah dan setengah tak percaya, ketika panitia mengambil kupon undian dan kemudian menyebut nama saya. Sejenak ia menoleh ke saya untuk meminta persetujuan untuk maju dan mengambil hadiah doorprize usai jalan sehat di RT kami hari Minggu kemarin (21/8).

“Waktu diumumin doorprize nya adalah kipas (angin), aku seketika berdoa. Ya Allah, aku kepengin kipasnya. Ternyata dikabulkan,”Nuha bercerita dengan wajah berbinar.

harap01

Nuha dan kipas angin idaman

Hehe, saya pun ikutan tertawa. Bagaimanapun sudah sejak beberapa lama ia mengajukan permintaan untuk kipas angin baru dan saya tak kunjung mengabulkannya. Lha, menurut saya, sebenarnya kipas angin itu juga tidak terlalu dibutuhkannya. Di kamarnya sudah ada perangkat AC yang masih berfungsi dengan baik. Ia hanya perlu membiasakan untuk tidak terlalu tergantung pada kipas angin yang semata hanya digunakan sebagai perangkat nina-bobo.

Ajaib memang. Nuha sejak kecil punya SOP (standard operating procedure) untuk gampang terlelap. Salah dua di antaranya adalah dengan naik mobil, atau dengan mendengarkan ritme kipas yang bergerak pada sumbunya, bergerak ke kiri dan ke kanan menghembuskan angin ke permukaan kulit tubuhnya. Biasanya setelah dia tidur, kipasnya dimatikan pun dia sudah terlanjur terlelap.

Nah, seiring dengan rusaknya kipas anginnya beberapa waktu yang lalu, saya bermaksud agar ia membiasakan tidur tanpa berteman kipas angin. Karenanya permintaanya tak lekas direalisasikan. Sudah beberap lama, siapa tahu Nuha sudah terbiasa tidur tanpa kipas angin. Tapi siapa yang menyangka, tak kunjung dapat apa yang ia harapkan, kipas angin idaman datang dari arah yang tak disangka. Hadiah dari acara tujuhbelasan.

***

Tujuhbelasan ini pun berarti buat Indonesia. Karena satu-satunya medali emas Olimpiade Rio 2016, berlabuh untuk Ibu Pertiwi pas tanggal 17 Agustus, beberapa menit jelang berganti hari menjadi tanggal 18 untuk waktu Indonesia bagian barat (wib).

Kado yang pas dari Tontowi Ahmad/Lilyana Natsir. Pas banget. Saya pun terbawa larut di malam itu. Saya hanyalah satu dari jutaan warga negara Indonesia yang ikut dalam sejuta rasa, persis sebagaimana dulu saat menyaksikan Susi Susanti di podium yang sama, 24 tahun yang lalu, podium Olimpiade untuk medali emas, untuk Indonesia Raya yang berkumandang menyertai pengibaran sang merah putih di puncak tertinggi.

Rasa yang saya alami itu sedemikian indah dilukiskan oleh Zen RS (@zenrs) melalui tulisannya:

Shuttlecock tak kenal etnis. Raket tak pandang ras. Itulah mengapa Indonesia berhutang kepada bulu tangkis. Pertama, karena berkali-kali memberi emas olimpiade. Kedua, sebab berkali-kali berhasil memperingatkan: betapa keberagaman bisa melahirkan kekuatan dan sesungguhnya dapat mendatangkan kebanggaan.

Tulisan lengkap bisa dibaca di sini.

harap02Seminggu sebelum tanggal itu saya sempat posting di akun path saya, bawa saya masih berharap bahwa Olimpiade kali ini akan mengembalikan tradisi emas untuk Indonesia meski sempat terputus di Olimpiade London 2012.

Sebelumnya sejak Olimpiade Barcelona 1992, emas senantiasa mampir di Indonesia. Memang sih, belum pernah mengulang keberhasilan dua emas raihan Susi Susanti dan Alan Budikusuma, tetapi emas selalu ada.

Ricky Achmad Subagdja/Rexy Mainaky di Atlanta 1996, Chandra Wijaya/Toni Gunawan di Sidney 2000, Taufik Hidayat di Athena 2004 serta Hendra Setiawan/Markis Kido di Beijing 2008.

Harapan saya mungkin ngasal waktu itu. Saya tak seoptimis pemerintah yang mentargetkan 3 emas (baca di sini). Tetapi saya percaya bahwa setidaknya ada satu emas saja bisa diraih meski saya tak tahu dari siapa emas itu. Hanya ada 7 cabang, dengan bulu tangkis yang menyumbang atlet terbanyak (10) dan angkat besi (7). Cabang yang lain adalah atletik, dayung, renang, panahan, serta balap sepeda BMX. Kepada siapa kita berharap?

Tradisi emas ada di bulu tangkis yang diwakili oleh: Owi/Butet dan Praveen/Debby (ganda campuran), Hendra/Ahsan (ganda putra), Greysia/Nitya (ganda putri), Tommy Sugiarto (tunggal putra) dan Lindaweni (tunggal putri). Dari kesemuanya tak ada yang diunggulkan di tempat pertama.

Harapan satu demi satu berguguran. Apalagi Owi/Butet harus saling mengalahkan dengan Praveen/Debby di perempat final. Lantas harus berjumpa dengan Zhang Nan/Zhao Yunlei yang diunggulkan. Tetapi Owi/Butet terus memelihara harapan Indonesia. Final sudah diraih tinggal selangkah dan … sejarah pun terukir sudah.

Di final yang menghabiskan 17 shuttlecock dan berlangsung selama 45 menit ini (lihat angkanya, sebuah kebetulan? hehehe), Owi/Butet telah menghidupkan asa jutaan rakyat Indonesia yang menyaksikan dari siaran langsung SCTV ataupun live streaming. Owi/Butet telah mengajarkan bahwa harapan senantiasa ada bagi mereka yang berharap.

***

Tujuh belasan kali ini, yang pas perayaan 71 tahun kemerdakaan Indonesia mengajarkan kepada saya pribadi dengan dua kejadian di atas tadi.

Salahkah berharap?

Bukankah harapan senantiasa ada bagi mereka yang percaya bahwa keajaiban itu ada? Bagaimana dengan yang diajarkan suporter Liverpool tiap kali bernyanyi dengan khusyuk: with hope in your heart, you’ll never walk alone.

Ya, saya takkan berhenti berharap untuk semua harapan yang terucap pun tak terucap. Siapa sangka darimana keajaiban itu bakal datang. Siapa tahu, bukan?

Someday … someway …

[kkpp, 24.08.2016]

Standar

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s