Entah siapa yang dulu memulai, di kosakata bahasa Indonesia, barang yang sama tapi berbeda tempat tumbuh bisa-bisanya disebut dengan berbeda. Tahu apakah itu?
Iya, benar. Rambut jawabnya. Tapi rambut sebenarnya lebih spesifik merujuk bila tumbuhnya di atas kepala. Bila tumbuh di tempat lain, rambut secara spesifik disebut alis, kumis, cambang, bulu mata, bulu hidung, bulu ketiak, dan … jenggot. Ya, jenggot. Hayoo, sempat mikir apa? Hihihi.
Tentang yang terakhir, untuk beberapa tahun belakangan ini saya memang menyengaja tidak pernah memotongnya. Terakhir memotongnya licin tandas ketika lahiran si bungsu. Sebelumnya ya lahiran si sulung.
Sejak kapan saya mempunyai kebiasaan tak memotong jenggot, saya lupa. Dulu sempat pengin punya kumis, tapi karena tumbuhnya kriwul sebagaimana rambut saya, maka tak jadi saya memelihara kumis kriwul. Lha saya sendiri kalau pas ngaca langsung ngakak, apalagi kawan-kawan. Mereka bisa ngakak guling-guling karenanya.
Pernah, di RAPMIN, rapat pimpinan mahasiswa institut (rapat antar ketua lembaga kemahasiswaan intra kampus ITS), di sela-sela perdebatan panas dan tak jelas kapan selesainya, seorang kawan ketua senat mahasiswa fakultas tetangga, tiba-tiba ngikik sendirian gara-gara ia yang duduk di atas saya (rapatnya diselenggarakan di Gedung Theatre C Kampus ITS Sukolilo, dimana modelnya bangku yang lebih depan lebih rendah) mengamati rambut saya yang baru tumbuh beberapa milimeter ternyata sudah kriwul. Katanya sambil berbisik dan menahan tawa,”Rambutmu ntas thukul ae wis kriwul.”
Begitulah, tak jadi pelihara kumis, saya iseng pengin tahu bagaimana jika jenggot saya panjangkan. Ternyata, ya sama saja. Jenggot saya tak bisa lurus panjang seperti jenggot mbah buyut kakung saya, mendiang R Parto Darmodjo. Ingatan masa kecil saya mencatat, jenggot beliau mirip H Agus Salim, pahlawan nasional yang posternya ada di kelas TK. Keren juga bila bisa jenggotan seperti itu.
Tapi … jenggot saya tumbuh kriwul. Setelah sekian waktu dipanjangkan, ternyata gravitasi tak mempengaruhinya. Jenggot saya tak bisa terlihat panjang. Jenggot saya mlungker seperti per yang jika ditarik baru terlihat panjang. Jadi ya meski tak pernah dipotong sejak kelahiran si bungsu (kini si bungsu hampir 6 tahun), jenggot saya hanya terlihat segitu saja.
Soal jenggot ini banyak cerita lucunya. Sering kejadian, karena mlungker dan terkait satu sama lain, jadinya terlihat seperti sesuatu yang aneh. Seorang kawan kantor pernah mengira itu adalah kotoran (perhatikan gambar di atas). Bermaksud baik, tanpa ba bi bu, ditariknya lah gumpalan ngruntel itu. Tentu saja saya berteriak kaget dan kesakitan, lha ujung satunya masih tumbuh sebagai jenggot yang sehat. Bukan hanya saya yang kaget, teman saya itu pun kaget juga. Hahaha.
Ada kejadian lain. Tiba-tiba sehabis perkenalan dengan seseorang yang suka menggunakan kata-kata kemarab (kearab-araban, kalau keinggris-inggrisan kan biasa disebut keminggris) bertanya, “ya akhi, adakah orang kita yang maju pilkada di sana?” Saya berusaha mencerna pertanyaannya itu, sebelum sesaat kemudian sadar bahwa jangan-jangan dikiranya saya kawan separtainya gegara jenggot ini. Hihihi, saya ngikik dalam hati.
Kejadian yang juga sering saya alami adalah saya diminta sebagai imam manakala dalam perjalanan harus mampir ke masjid atau musholla. Curiga saya, jangan-jangan karena faktor jenggotan juga. Hihihi.
Demikianlah hikayat jenggot saya. Di awal tahun 2015 ini, saya memutuskan untuk merapikannya. Bagaimanapun jenggot bukanlah jenglot yang harus setiap masa dipelihara. Jenggot jenggot saya, jenglot … ih, amit-amit.
[kkpp, 02.01.2015]