Bisnis, Indonesiana

Habibie dan Pendawa

Bukan kali ini saja seorang yang berlatar belakang jurnalis kemudian menjadi seorang menteri. Jika sekarang kita menemukan hal tersebut pada sosok Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono, di awal Orde Baru ada sosok BM Diah yang menjadi Menteri Penerangan Kabinet Ampera I dan II, tahun 1966-1968. Serta jangan lupakan pula nama Harmoko, yang juga menjabat sebagai Menteri Penerangan tahun 1983-1997.

Bahkan, ada wartawan yang sempat menjadi Wakil Presiden, setelah sebelumnya menjabat sebagai Menteri Luar Negeri. Ya, beliaulah Adam Malik.

Jujur saja, untuk ketiga nama terakhir, saya tak sempat menikmati karya-karya ketiganya. Saya juga fakir pengetahuan, apakah ketiganya masih aktif menulis atau tidak pada saat menjabat menteri. Sementara tulisan Dahlan Iskan sering muncul di harian Jawa Pos yang kemudian diposting ulang di www.dahlaniskan.wordpress.com oleh salah seorang pengagum beliau.

Dengan tetap menulis, Dahlan Iskan dengan mudah menyampaikan apa yang ia pikirkan, apa yang ia hendak dan sedang kerjakan sebagai seorang menteri yang mengurusi BUMN. Langsung tanpa melalui konferensi pers sebagaimana lazimnya seorang menteri. Sementara publik langsung mencerna dan memahaminya.

***

Salah satu yang menarik perhatian saya adalah tulisan Dahlan Iskan tentang mobil listrik (baca di sini). Cerita tentang upaya pemerintah untuk membuat sendiri mobil listrik oleh anak negeri. Cerita tentang rapat yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono yang diikuti oleh separuh anggota kabinet, beberapa rektor perguruan tinggi terkemuka, serta Pendawa Putra Petir.

Siapa itu Pendawa Putra Putir?

Sebagaimana pemahaman umum, Pendawa adalah lima bersaudara di kisah Mahabarata. Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa yang berdiri sebagai tokoh protagonis di kisah tersebut.

Wayang Pendawa (sumber: wikipedia)

Sementara di tulisannya, Dahlan Iskan menjelaskan tentang Pendawa Putra Petir sebagai berikut:

Yakni lima putra bangsa yang siap merealisasikannya (mobil listrik, red). Lima orang ini merupakan hasil seleksi dari lebih seribu orang yang mendukung lahirnya mobil listrik nasional. Lima orang inilah yang memenuhi tiga syarat utama sekaligus: kemampuan akademik, pengalaman industri, dan passion untuk mewujudkannya.

Mereka adalah Dasep Ahmadi, Danet Suryatama, Ravi Desai, Mario Rivaldi dan seorang lagi yang masih dirahasiakan namanya, tetapi dijuluki Dahlan Iskan sebagai Sadewa dari Sumbar. Berlima, merekalah Sang Pendawa Putra Petir.

***

Tiba-tiba saja saat membaca tulisan Dahlan Iskan itu via cross-posting di sebuah milis (maklum, saya tidak langganan surat kabar tempat tulisan Dahlan Iskan biasanya diterbitkan, serta tidak biasa mengunjungi laman yang menuliskan ulang sebagaimana link di atas),  saya teringat sebuah nama: BJ Habibie.

Sosok yang menginspirasi jutaan anak negeri untuk mencita-citakan dunia engineering sebagai masa depannya, sosok cerdas yang memilih untuk pulang ke negerinya meninggalkan karir di luar negeri, sosok seorang Presiden Republik Indonesia.

Adalah Ibnu Sutowo yang mengajak BJ Habibie untuk pulang ke Indonesia pada tahun 1974 untuk mengembangkan industri dirgantara. Nurtanio, IPTN, PT. Dirgantara Indonesia, sangatlah lekat dengan nama Habibie. Dua puluh satu tahun kemudian, terbanglah pesawat N-250, Gatotkaca, sebagai pesawat yang desain, produksi dan perhitungannya dikerjakan di Indonesia, berbeda dengan pesawat-pesawat sebelumnya yang berhasil dibuat oleh IPTN tetapi masih bersifat patungan.

Sayang, setelah 38 tahun kepulangan BJ Habibie dari Jerman, kini nasib Sang Gatotkaca belum lagi terdengar. Bahkan, di saat bandara-bandara yang menghubungkan Indonesia sudah penuh sesak, saat Garuda Indonesia mendapat penghargaan dari lembaga internasional dan beriklan di Stadion Wembley, belum lagi ada kabar tentang pesawat buatan (100%) Indonesia yang mengudara secara komersial.

Inilah yang menyebabkan kekhawatiran saya saat membaca tulisan Dahlan Iskan tentang Pendawa Putra Petir. Bukan tentang kapasitas Sang Pendawa, melainkan tak cukup beban impian mewujudkan mobil listrik nasional hanya dibebankan kepada Sang Pendawa, sebagaimana industri dirgantara yang seolah menjadi beban seorang BJ Habibie.

Secara teknologi, saya percaya seribu persen bahwa anak-anak negeri mampu mewujudkannya. Tetapi tidak cukup itu. Ada kebijakan-kebijakan lain yang diperlukan agar impian besar itu terwujud. Persis, sebagaimana dijanjikan di akhir tulisan Dahlan Iskan. Kita tunggu saja bagaimana realisasinya.

Tetapi, saya hanya sekedar tak rela jika seandainya Sang Pendawa Putra Petir mengalami nasib yang sama dengan Habibie. Nasib yang mempertemukan impian layaknya kembang yang layu dimakan ulat. Sedihnya kemudian jika ulat-ulat pemakan kembang itu ternyata juga sesama anak negeri sendiri.

[kkpp, 06.06.2012]

Standar

Satu respons untuk “Habibie dan Pendawa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s