Beberapa hari ini kita disibukkan oleh liputan media mengenai kabar dari Presiden Soeharto yang tengah sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta. Tidak hanya media cetak dan televisi, bahkan di berbagai milis pun bertebaran hal yang sama. Bahkan karena porsi liputannya sedemikian besar, maka bahasannya pun jadi cukup lebar. Mulai dari tinjauan kesehatan serta siapa-siapa saja yang menjenguk -mulai keluarga, bekas pejabat dan pejabat, ulama dan mantan kepala negara tetangga, dan siapa saja yang butuh popularitas mendadak.
Belum lagi bahasan perlu tidaknya kasus Suharto dilanjutkan atau tidak, perbandingan antara masa akhir Presiden Soekarno menjelang wafatnya dan kondisi yang dialami sekarang oleh Soeharto, bahkan hingga ke hal-hal yang remeh tapi seolah menjadi penting: fasilitas apa yang didapat Soeharto di ruang RSPP yang di-upgrade habis-habisan hingga persiapan apa yang disiapkan oleh perangkat makam keluarga Soeharto.
Luar biasa benar bagaimana media menyorot peristiwa ini. Saya sungguh mual. Bukankah sejak jaman tugas akhir saya dulu, soalnya sakitnya Soeharto sudah memasuki ruang sidang tugas akhir saya tanpa disangka-sangka? (baca di sini). Padahal itu sudah lebih sembilan tahun yang lalu? Selama sembilan tahun itu pula kasus Soeharto tak pernah mendapatkan hal yang serius meski berganti Presiden, berganti Jaksa Agung, dan malah telah menjadi TAP MPR. Lantas mengapa harus ribut sekarang, saat yang bersangkutan tak berdaya di atas ranjang rumah sakit, dengan berbagai selang berseliweran, dengan berbagai alat medis digunakan? Kemana aja, mereka yang ribut itu selama ini? Niat ndak sih, mereka menyelesaikan kasus Soeharto?
Saya benar-benar mual. Terlebih saat mendengarkan himbauan dari pejabat dan bekas pejabat agar rakyat Indonesia memaafkan beliau plus diembel-embeli label “Tuhan lho, Maha Pengampun”… Duh, kita memang sakit. Memaafkan dan meminta maaf adalah masalah kelapangan hati dan keluasan nurani. Dari mana ada maaf, bila permintaan maaf itu masih terasa pongah tak merasa bersalah, malah mendulukan jasa-jasa …
Dan saya sungguh mual, membaca media yang kebanyakan memberitakan berita itu, sebagaimana mualnya saya manakala saya kebanyakan minum kopi …
[kkpp, 14/01/2008, di surabaya siang yang temaram]