Bayangkanlah sebuah pertandingan tanpa kompetisi. Bagi saya, hal itu berarti tak akan ada lagi menariknya menjadi penonton. Kita hanya akan melihat Fernando Alonso melaju sendirian di lintasan balap. Sangat membosankan. Hanya ada dua kemungkinan. Kita hanya akan menanti Alonso mencapai finish (line), naik podium sendiri, dan menikmati sampanye-nya sendiri. Atau, Alonso akan berbuat salah-salah sendiri.
Beda halnya bila ada pesaing-pesaingnya. Keberadaan Kimi Raikkonen, Felipe Massa, dan Lewis Hamilton yang notabene rekan setim Alonso di McLaren, bukan semata menyemarakkan lintasan, namun juga akan meningkatkan kemampuan masing-masing tim dan pembalap. Setiap tim dan pembalap akan melakukan yang terbaik, melakukan improvisasi dan inovasi, dan meminimalkan kesalahan sendiri yang memungkinkan keuntungan bagi pesaing. Persaingan pun berlangsung dalam koridor yang disepakati bersama. Karenanya, menjadi juara dari persaingan tersebut akan sangat berarti bagi setiap stakeholder dan sangat layak untuk dirayakan.
Ya, setiap stakeholder akan menikmati hasil dari pertandingan dengan kompetisi tersebut. Penonton lebih terhibur, pengiklan akan datang, uang mengalir ke penyelenggara, dan alirannya ke gaji pembalap dan gaji tim teknisi pun juga membumbung.
Begitu halnya dengan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum, yang lebih dikenal sebagai SPBU atau secara informal dikenal dengan pom bensin atau galon di beberapa daerah lainnya. Awalnya, SPBU adalah dikelola oleh Pertamina sebagai satu-satunya perusahaan milik negara yang berhak memasarkannya di pasar dalam negeri. SPBU Pertamina adalah pemain tunggal. Namun era itu telah berubah. Sejak 2005, para pesaing Pertamina yang notabene perusahaan minyak asing, diperbolehkan membuka SPBU.
Persaingan itu kemudian membuka pintu pagi pemakai bahan bakar (baca: konsumen) bahwa masih ada alternatif di luar SPBU-SPBU Pertamina. Adanya pilihan itu serta merta mendewasakan konsumen dan membiasakan konsumen untuk mengkaji dan menilai setiap pilihan yang ada. Bagi Pertamina sendiri, tak ada pilihan lain selain melakukan improvisasi dan inovasi, bila tak ingin ketinggalan di persaingan itu, meski saat ini persaingan itu hanya terbatas di beberapa wilayah Indonesia.
Perubahan yang paling nyata adalah adanya keterbukaan tentang kerjasama operator SPBU. Dahulu kala tersebar desas-desus bahwa pemilik pom bensin adalah orang kuat pun orang yang dekat dengan kekuasaan. Sekarang pintu kerjasama operator itu terbuka lebar bagi siapa saja yang memenuhi persyaratan. Kelihatannya begitu, terbukti dari menjamurnya SPBU. Tak jarang malah terlihat ada beberapa SPBU bertumpuk di satu area tertentu.
Kondisi ini mengharuskan persaingan tidak saja Pertamina versus Shell atau Petronas, malah persaingan antar SPBU Pertamina. Lantas, siapa yang diuntungkan dari persaingan ini? Kembali ke awal tulisan, sebagaimana kerasnya persaingan antara pembalap F1, persaingan yang sehat antar SPBU Pertamina pasti menguntungkan setiap stakeholder yang terlibat. Mau tak mau masing-masing SPBU akan berlomba meningkatkan pelayanan, lantas konsumen bisa memilih SPBU mana yang memberikan layanan yang lebih baik, lantas citra Pertamina jadi meningkat, dan pendapatan pemerintah pun juga meningkat, dan selama tidak dikorupsi, rakyat Indonesia pula yang menikmatinya.
Tahun kemarin saya pernah mengisi bahan bakar di sebuah SPBU di dekat Tegal, di lintasan pantura Jawa yang lumayan padat. Sejak beberapa kilometer sebelumnya telah ada advertisement agar para pelintas untuk mampir di SPBU yang tercatat di MURI (Museum Rekor Indonesia) dengan toilet terbanyak. Saya tertarik dan kemudian mampir. SPBU itu ternyata tidak sekedar menyediakan toilet dalam jumlah banyak (saya lupa berapa buah persisnya) dan bersih, tetapi juga layanan lainnya seperti musholla ber-AC, kantin dan coffe shop, ruang khusus untuk ganti popok dan menyusui, serta persewaan matras sebagai tempat melepas kantuk dan penat. Dengan layanan seperti itu, beberapa SPBU-SPBU lain terdekat terlihat lebih sepi, kontras dengan SPBU tersebut.
Begitu halnya di Surabaya. Di tengah kota terlihat SPBU menjamur di sana-sini. Pemakai bisa memilih di mana SPBU yang memberikan layanan terbaik. Ada yang bisa menggunakan kredit card maupun debit card. Toilet terlihat lebih bersih. Malah ada yang memberi jasa pengisian angin untuk ban.
Yang lebih menggembirakan adalah adanya layanan bon printer. Sungguh saya sangat appreciate. Biasanya, sebagaimana karyawan yang bisa melakukan reimburse biaya transportasi, saya selalu membutuhkan bon. Dan setiap saya memintanya, biasanya petugas SPBU akan menawarkan: “bon kosong, pak?”
Mengapa harus bon kosong? Rupanya sangat jamak yang mengisi bon kosong itu dengan nominal yang berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Nah, dengan adanya layanan bon printer inilah, saya pikir akan lebih meminimalkan praktek korupsi. Karenanya, saya akan berusaha memilih SPBU dengan layanan bon printer dibandingkan yang tidak menyediakannya.
Hal lain yang tidak saya sukai dari SPBU ber-paradigma lama adalah masalah uang kembalian. Praktek yang sering saya temui adalah adanya pembulatan dari harga total. Kadang malah dengan sengaja dilebihkan hingga tumpah sehingga meteran bisa dibulatkan ke atas. Misal, seharusnya meteran menunjuk angka Rp 194,700 dan permukaan bensin sudah terlihat di ambang tangki, kadang operator akan menambahkan sedikit (lantas tumpah), dan meteran bergerak ke Rp 195,300. Apa yang terjadi? Uang 4 lembar 50.000 an akan dikembalikan 4 lembar 1.000 an. Karenanya saya sangat angkat topi dengan salah satu SPBU baru di jalan tol ruas Waru-Porong, yang menyediakan recehan. Sehingga pembulatan tidak ke ribuan terdekat tapi ke ratusan terdekat.
Terakhir yang menarik adalah bahwa beberapa SPBU menyatakan meterannya telah diverifikasi oleh lembaga verifikasi asing, tidak lagi semata mencantumkan bahwa meterannya telah diperiksa oleh instansi pemerintah sebagaimana SPBU-SPBU lainnya. Pernah suatu ketika di SPBU ber-paradigma lama, bila kapasitas tangki full adalah 50 liter sebagaimana tertera di manual book kendaraan, bagaimana bisa sewaktu diisi meteran telah menunjukkan 54 liter, dan itu pun belum menunjukkan tanda-tanda tinggi muka bensin keliatan di ambang tangki. Dan dengan polos si operator bertanya: “Tangkinya kosong ya, pak?”
Jadi, SPBU mana yang Anda pilih?
[kkpp, 27.07.07]