Indonesiana

Preseden

paluJudul di atas bukan salah ketik alias typo. Benar seperti itu, preseden dan bukan presiden. Kali ini saya tak hendak menulis tentang presiden yang beberapa saat terakhir menjadi sorotan masyarakat luas, saya memang berkeinginan menulis tentang preseden. Di kosa kata kita, preseden berarti sesuatu hal yang terjadi lebih dahulu dan dapat dipakai sebagai contoh di masa yang akan datang.

Baca lebih lanjut

Standar
Indonesiana, Kisah Kehidupan, Lawan Korupsi, Politik

Agatha Retnosari: Politik Jalan Sunyi

Seumur-umur nge-blog, belum sekalipun saya membuat postingan yang bersifat wawancara. Baru kepikiran sekarang.Itu pun bukan wawancara bertemu empat mata, melainkan wawancara dengan memanfaatkan fasilitas chatting via WhatsApp. Meskipun secara teknis mudah, yang agak sulit adalah menyesuaikan waktu karena bagi saya wawancara sebaiknya sejak awal telah dikondisikan pada suatu waktu yang diperjanjikan dan subyek wawancara sudah memahami bahwa chatting tersebut akan saya publish di blog ini.

Untuk wawancara yang pertama ini, adalah seorang kawan, Agatha Eka Puspita Retnosari, nama lengkapnya. Iik, begitu kami biasa memangilnya, dan ia menuliskan namanya sebagai calon legislatif DPRD Jatim, daerah pemilihan (dapil) Surabaya-Sidoarjo, dari Partai PDI Perjuangan (PDIP) nomer urut 3, dengan menggunakan nama yang lebih singkat: Agatha Retnosari. Baca lebih lanjut

Standar
Indonesiana, Lawan Korupsi

Bahaya Laten Korupsi

bahaya laten korupsi

Di sebuah acara, saya memperoleh sticker sebagaimana gambar di atas. Saya lupa kapan persisnya, ehm … , kira-kira tahun 2010-an lah.

Versi lain dari sticker ini sila mampir ke sini. Menggunakan jargon yang sama tapi berbeda desain dan warna dasar.

Saya suka sticker itu.  Idealnya sih ditempelkan di kendaraan, sebagai iklan berjalan bagi gerakan anti korupsi. Tapi atas kualitas pembuatannya, saya tak yakin sticker itu bakal awet di tengah panas dan air hujan, dan jadilah saya memilih menyimpannya di bawah kaca tipis di atas meja kerja saya daripada menempelkannya, supaya tetap awet sebagai pengingat bagi saya pribadi. Baca lebih lanjut

Standar
Indonesiana, Kisah Kehidupan

Martir

Sungguh saya ingin menuliskan kisah tentang Sondang Hutagalung sejak beberapa hari yang lalu. Berkali mencoba, tetapi selalu saja gagal. Tenggorokan tercekat, jemari serasa kelu, otak beku sementara sekujur tubuh merinding. Bahkan hendak menuliskan dalam 140 karakter saja pun tak bisa. Hanya mampu me-retweet beberapa dari ribuan tweet yang layak di re-tweet. Saya menangis tanpa airmata tanpa hirau perdebatan yang terjadi di luar sana.

Sondang, pemuda bungsu dari empat bersaudara itu, tak sedikitpun saya kenal sebelumnya. Siapa dia, bagaimana kesehariannya, hanya saya tahu kemudian dari media. Tetapi perjuangannya yang herois terasa sedemikian dekat, menghentak kesadaran yang ada. Menohok nurani seandainya masih ada. Membangunkan lagi kesetiaan pada keberpihakan pada mereka yang tertindas.

Tanpa pesan yang ditinggalkan pada peristiwa di hari Rabu sore (7/12) di depan Istana Negara, siapa saja bisa menginterpretasikan apa sebenarnya maksud dari aksi bakar diri itu. Tetapi saat kemudian terungkap jati dirinya, bagaimana aktivitas kesehariannya, serta pilihan dimana aksi itu, maka terang-benderang-lah sudah maksud dan tujuan dari demo tanpa kata tapi penuh makna itu.

Pembakar diri memprotes rasa ketidakadilan. Dan, yang perlu digarisbawahi, para pemimpinlah yang bertanggung jawab atas terciptanya ketidakadilan tersebut.

Pembakar diri seperti Bouazizi atau Sondang bukan pencari sensasi yang haus perhatian dan ingin dikenang sebagai ”pahlawan”. Mereka disebut sebagai ”korban” yang ingin agar rakyat ”bangkit”.

Makna dua kata, korban dan bangkit, itulah yang menjadi esensial. Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dahulu demi membangkitkan harapan rakyat agar nasib bangsa jadi lebih baik lagi.

~ Budiarto Shambazy

Sadarlah yang terlena!

Bangunlah, hai yang tertidur!

Negeri ini butuh lebih banyak lagi mereka yang sadar dan bangun untuk membuka mata dan telinga Presiden Truk Gandeng dan kaki tangannya, yang (sengaja) buta dan (sengaja) tuli terhadap ketidakadilan yang dialami rakyatnya.

[kkpp, 12.12.2011]

ps. Terima kasih Sondang! Doa kami atasmu… 

 

Standar