Force and violence are likely to be successful techniques of social control and persuasion when they have wide popular support – Hannah Arendt
Kutipan di atas saya temukan di halaman pertama bab pendahuluan sebuah buku yang mengulas hari-hari terakhir Orde Baru: menelusuri akar kekerasan Mei 1998.
Hari ini (13/5) saya mengikuti bedah buku tersebut bersama sang pengarang, Peter Kasenda, bareng dengan Komunitas Bambu, di sebuah kafe di Sarinah, Jakarta. Sebuah upaya mengenang apa yang terjadi 20 tahun yang lalu.
Kutipan di atas, kembali mengoyak kesedihan saya hari ini. Saya kembali menangis pas doa dipanjatkan dari peserta untuk kejadian itu. Pagi tadi kabar duka datang dari Surabaya, kota yang saya akrabi sejak 25 tahun yang lalu. Antara percaya dan tidak, Surabaya dibom. Surabaya yang masyarakatnya egaliter, yang relatif lebih bisa menghargai perbedaan-perbedaan, kecolongan oleh bom yang disusupkan tepat di wajah rumah peribadatan. Sedih benar.
Sedih benar.
Bukan saja karena korban berjatuhan, lagi dan lagi. Tetapi sedih, miris mungkin lebih tepat, rupanya kekerasan masih mendapat tempat. Kekerasan masih mendapat pembenaran. Kekerasan masih mempunyai ruang.
Fakta pelaku, modus operandi ya merupakan pengulangan kejadian-kejadian sebelumnya.
Kita mengutuknya. Kita mengecamnya.
Tetapi, berhentilah mengingkarinya. Sikap denial tak akan menyelesaikan masalah. Akui bahwa memang ada benih-benih kebencian itu. Akui memang ada yang menumbuhkannya, menyiraminya, dan bahkan membiarkannya mekar.
Jangan beri panggung mereka-mereka yang mempunyai niatan itu. Jangan beri panggung mereka di acara-acara televisi, media sosial, mimbar dan kajian. Jangan pula larut dalam imaji liar tentang pengalihan isu. Kritis boleh, tetapi jangan mematikan empati, simpati, serta rasa kemanusiaan.
Indonesia-lah yang perlu pembelaan kita. Indonesia-lah yang perlu kita rawat dan memekarkannya. Bukan malah mengebom dan menebarkan ketakutan di sana-sini.
[kkpp, 13.05.2018]