Jumat kali ini adalah sebagaimana hari Jumat yang lain. Selalu terselip agenda untuk membasuh ruang keimanan barang sejenak. Ada kewajiban dan ada kerinduan. Dua keping yang bagai perdebatan ayam dan telur :mana yang lebih dulu: kewajiban atau kerinduan.
Salah satu yang membuat saya merindukan Jumat adalah acara utamanya: khotbah oleh khotib saat naik mimbar. Seperti kerinduan pengembara menemukan persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan hidup yang entah berujung dimana dan kapan.
Sedih bila kemudian mendapati khotib berkhotbah dengan cara yang standar dan dengan tema yang standar pula. Seolah bagai sebuah persinggahan yang biasa-biasa saja, yang menyebabkan sang pengembara tak ingin berlama-lama untuk singgah. Bahkan lebih menyedihkan lagi bila kemudian khotib malah lebih senang ‘memarahi’ para pengembara daripada ‘memenuhi kebutuhan bekal’ bagi mereka yang perjalanannya masih tak tahu di mana ujungnya. Para pengembara yang secara sadar untuk singgah seolah mendapatkan ketusnya sang pengelola tempat persinggahan. Jadi, jangan harap ada nilai tambah bagi sang pengembara dan rencana perjalanannya.
Yang sungguh saya rindukan dari khotbah Jumat adalah khotbah yang mencerahkan dan tidak dibawakan dalam langgam menina-bobokan (nina-bobo dalam arti sebenarnya). Misalkan, topik yang belum tergali dari luasnya ayat-ayat Sang Khalik. Masak sih, ayat-ayat Sang Khalik yang sedemikian luas hanya dibahas ayat yang itu-itu mulu dari Jumat satu ke Jumat yang lain, dari masjid satu ke masjid yang lain, dari khotib yang satu ke khotib yang lain.
Atau bisa juga khotbah yang berisi pembahasan yang dekat dengan permasalahan yang masyarakat. Bahasa twitter-nya: yang sedang jadi trending topic. Khotbah yang membumi.
***
Jumat kali ini sepertinya bakal mendapati terpenuhinya kerinduan sang pengembara. Sebuah persinggahan yang mengajak untuk berlama-lama.
Khotib memilih topik yang sedang trend di masyarakat. Penyampaiannya penuh semangat dengan intonasi tak monoton. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh sidang Jumat yang beragam latar belakang. Serta logika dan sistematika penyampaian yang terjaga sedari awalnya. Well prepared-lah.
Coba tebak, kira-kira tentang apa?
Ya, tentang Ahmadiyah. Trending topic yang pantas untuk diperbincangkan dalam minggu-minggu ini. Khotib memilih sudut masuk dengan menyitir ayat yang membahasakan Muhammad Rasulullah SAW sebagai ‘nabi penutup’ dan bukan ‘nabi terakhir’ dan mengakhirinya dengan kesimpulan mengapa Ahmadiyah dianggap sesat sambil melirik arloji di tangan kiri, dan seolah terburu memutuskan untuk melanjutkan dengan do’a sebagai akhir khotbah Jumat.
Masih terngiang hingga di penghujung hari Jumat ini, tengah malam saat Sabtu hendak bergulir, tentang khotbah siang tadi. Ah, mengapa kok jadi khotbah yang tidak tuntas. Andai ditambah sedikit bahasan barang lima menit …
Misalkan, jika memang sesat apa yang sebaiknya dilakukan oleh umat yang mendengarkan khotbah Jumat ini dengan penuh antusias? Apa yang perlu dilakukan oleh umat menghadapi ekses kejadian-kejadian belakangan ini? Layakkah kesesatan itu kemudian dihakimi dengan algojo yang mematikan?
Duh!
[kkpp, 18.02.2011]