Agustusan kali ini Indonesia berusia 80 tahun. Tapi buat saya, agustusan kali ini terasa paling muram dibandingkan agustusan tahun-tahun yang berlalu, Biasanya, buat saya yang pernah menjadi bagian dari anak muda pengibar bendera meski bukan level pengibar bendera di Istana Merdeka, agustusan dengan nuansa merah putih yang terlihat dimana-mana terasa sebagai momen yang menyenangkan saat haru menyergap ketika Merah Putih berkibar dengan gagahnya.
Kemuraman saya ini kemudian terwakili oleh Kelompok Kajian Jumat Malam (K-Jam), sebuah kelompok diskusi tempat saya melibatkan diri, merilis jersey merah putih, bernuansa batik, tetapi dengan memuat pesan:
Indonesia lelah, (sudah 80 tahun merdeka) tetapi Indonesia belum merdeka dari korupsi.

Kondisi Indonesia tak kunjung bebas korupsi ini mestinya tak terjadi, karena gerakan reformasi yang meruntuhkan Soeharto di 1998, yang waktu itu juga membawa tuntutan bahwa Indonesia harus bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, nyatanya reformasi tak ada arti karena korupsi terasa bagai tua-tua buah keladi.
Organ dan lembaga yang dilahirkan oleh reformasi 1998, seperti: sistem politik multi partai, Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian yang diberikan ruang yang lebih kuat dibandingkan dengan masa menjadi anak bawang di bawah ABRI, dan juga komisi-komisi serta badan-badan baru lainnya, tak membuat korupsi reda. Malah justru bisa disiasati dengan muslihat berkelindan antara penguasa, aparat penegak hukum, politisi serta pengusaha hitam melahirkan oligarki yang kuasanya meninabobokan pemilik kedaulatan yang sebenarnya: Rakyat Sang Pemilik Republik.
Rakyat tak kunjung dicerdaskan dan ujungnya jadi tak kunjung berdaya menegakkan kuasanya. Remisi di agustusan dan amnesti buat para koruptor yang terasa membagongkan, hanya bisa dibincangkan rakyat dalam kemarahan perbincangan antar cangkir-cangkir kopi belaka.
Kemuraman agustusan itu makin terekstrapolasi berlipat menjadi kemarahan rakyat manakala Affan Kurniawan pada tanggal 28 Agustus 2025 meninggal dunia dilindas polisi yang tak pernah belajar dari kesalahan-kesalahan sebelumnya: kasus Kanjuruhan, kasus Sambo, kasus Gamma, dan banyak kasus lainnya. Rakyat bereaksi menuntut keadilan dan perubahan yang lebih mendasar, tetapi dijawab dengan cara-cara lama: menyisipkan penjahat agen-agen kontra demonstrasi damai yang menyaru demonstan yang membakari fasilitas umum berharap kerusuhan makin meluas sebagaimana era gelap 1998 dimana demo makin besar tetapi berbagai penjarahan, pemerkosaan serta kejahatan rasial juga ikut menebarkan ketakutan.

Tak cukup dengan itu, meski Presiden Prabowo, Ketua DPR Puan Maharani yan didampingi Gubernur Pramono Anung, datang berkunjung ke rumah duka, tetapi maaf dari mereka hanya pemanis bibir penuh pencitraan tanpa tindakan konkret menjawab kemarahan rakyat. Tudingan demo ditunggangi pihak asing, makar dan terorisme, serta narasi penanganan polisi yang menciderai akal sehat publik dan ditambah dengan pejabat yang playing victim, dan Presiden yang malah memberikan award kepada aparat yang melawan demonstran malah menjadikan kemuraman tenggelam ke tempat yang gelap dan penuh keputusasaan.

Agustus yang muram, tapi September yang sedikit berwarna. Resistance blue, brave pink dan hero green, disertai 17+8 tuntutan yang diinisiasi oleh anak-anak muda pemilik masa depan republik terasa sebagai pengobat bahwa masih ada harapan semoga saja agustusan-agustusan tahun-tahun mendatang tak lagi muram: Indonesia tetap ada dan bebas korupsi!!

Panjang umur perjuangan!
[kkpp, 06.09.2025]

Tinggalkan komentar