Politik

Pilwali Surabaya 2010: Milik Petahana

Pilwali 2010 …. inkumben pada ghalibnya sulit dikalahkan. Kinerja dan profesionalisme Risma tampaknya sangat menentukan; sebaliknya CACAK  cuma dianggap “ban serep” dan bukan inkumben sebenarnya. Bagaimanapun calon independent (Fitra) tetap membuktikan kehebatannya dengan menguasai 6% massa pendukungnya yang begitu solid dan konsisten. All the best for profesionalism! – Sritomo Wignyosoebroto, 3 Juni 2010.

Kutipan di atas adalah ungkapan dari Pak Momok, mantan Dekan Fakultas Teknik Industri ITS, beberapa saat setelah hasil quick count diumumkan. Pada waktu itu, LSI menempatkan pasangan Tri Rismaharini – Bambang DH unggul dengan prosentase 38,26, disusul Arif Afandi – Adies Kadir (35,38%), Fandi Utomo – Yulius Bustami (13,98%), BF Sutadi – Mazlan Mansur (6,25%) serta Fitradjaja – Naen Suryono (6,13%).

Dalam konferensi persnya, pihak LSI sempat menghimbau agar menunggu hasil perhitungan manual yang dilakukan KPU, mengingat beda antara pasangan terbanyak pertama dan kedua hanya berselisih 2,88% dan sementara sampling error adalah 2%. LSI rupanya takut kejadian sebagaimana pilgub Jawa Timur sebelumnya -yang menempatkan dua pasangan terbanyak hanya berselisih tipis- terulang.

Tetapi ternyata hasil perhitungan cepat itu kemudian tak berbeda jauh dengan yang ditetapkan KPU pada tanggal 8 Juni 2010. “Tepat pukul 00.20, pasangan Tri Rismaharini – Bambang DH ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih,” ujar Eko Sasmito, Ketua KPU Surabaya. Berdasarkan perhitungan KPU tersebut, Risma-Bambang memperoleh 358.187 suara (38,53%), kemudian Cacak (Arif-Adis) memperoleh 327.516 suara (35,25%), Fandi Utomo – Yulius Bustami dengan 129.172 suara (13,9%), BF Sutadi – Mazlan Masnur dengan 61.648 suara (6,63%), dan Fitra-Naen mendapatkan dukungan 53.110 suara (5,71%). Sumber: KPU Surabaya.

Dengan memperhitungkan jumlah suara tidak sah sebesar 39.307 suara, maka total partisipasi suara adalah sebesar 968.940 dari 2.142.900 pemilih terdaftar atau sebesar 45,216 %.

Meski telah dapat dikatakan usai, walau ada beberapa pasang yang masih mengajukan keberatan melalui jalur hukum, hasil pilwali Surabaya ini menunjukkan bahwa pertarungan utama adalah milih pentahana*, incumbent, yaitu mereka yang secara resmi menjabat jabatan pada periode sebelumnya. Pasangan walikota-wakil walikota Surabaya periode sebelumnya dijabat oleh Bambang DH dan Arif Afandi. Sementara BF Sutadi dan Risma adalah pejabat pemerintah kota. Sutadi pejabat Lurah, Camat hingga jabatan terakhirnya adalah Asisten Pemerintahan. Sementara Risma adalah pejabat di Bappeko dan lebih dikenal saat menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (2005-2008).

Bambang DH dan Arif Afandi kemudian berpisah jalan. Arif Afandi memilih partai Demokrat sebagai kendaraan politiknya. Sementara Bambang DH yang terkendala putusan Mahkamah Konstitusi untuk maju sebagai walikota memilih loyal kepada partainya, PDIP, yang memintanya maju lagi meski hanya sebagai wakil walikota.

Bambang DH kemudian mengajak Risma, salah satu pejabatnya yang banyak mendapat simpati atas keberhasilan yang nyata dirasakan warga. Bagi warga Surabaya, nyata terbayang “taman” = “risma”.

Sementara Bambang berhasil mengajak Risma, Arif Afandi akhirnya menjadi calon resmi dari Demokrat menyisihkan Fandi Utomo dan Wisnu Wardhana, Ketua DPC PD Surabaya yang sudah menjabat sebagai Ketua DPRD. Arif lantas menggandeng Adies Kadir yang juga Ketua DPC Partai Golkar. Sementara Fandi Utomo yang sejak jauh hari sudah beriklan demi menaikkan kepopulerannya kemudian menggandeng partai-partai lain karena ditolak di partainya sendiri. Sementara PKB, salah satu partai besar di Surabaya, memilih Sutadi dan Mazlan Mansur. Ditambah dengan Fitradjaja yang maju dari jalur perseorangan, maka lengkaplah sudah lima pasangan yang bersaing.

Jadi inilah peta perpartaian di pilwali kemarin: PDIP versus Demokrat-Golkar-PAN versus PKB versus koalisi partai yang dipersatukan oleh Fandi Utomo (PKS, PPP, PDS, PKNU) serta versus wacana non-partai yang diusung Fitradjaja.

Lantas, apakah paramater kepartaian menyebabkan seseorang menjadi pemenang? Jangan lupa ada yang mengibaratkan bahwa partai mirip mesin.

Yang jelas, dua teratas adalah dua pasangan pentahana yang berpisah jalan. Jika dijumlahkan, maka dukungan buat Bambang DH-Arif Afandi adalah 73.78%. Belum lagi bila ditambahkan dengan suara BF Sutadi. Jadilah 80.41% dukungan buat mereka yang telah menjabat sebelumnya.

Mengapa bisa sedemikian dominan? Apakah seluruh warga Surabaya telah puas dengan para pejabat-pejabat pemerintahannya? Bisa jadi ya. Bisa jadi juga terpengaruh hukum kelembaman. Takut berubah. Serta kecenderungan untuk memilih yang lebih dikenal.

Maka wajar saja, bila calon yang pentahana lebih dikenal. Media selama tahun-tahun terakhir lebih banyak mewartakan sang pejabat dibandingkan sang penantang yang tidak cukup persiapannya. Tak heran pula, sang penantang haruslah bermodal lebih, sehingga bisa pasang nama dimana-mana agar mengangkat popularitas setara pentahana. Atau kalau mau pintas, ajak saja artis.

Bagaimanapun, Surabaya telah memilih. Risma telah memperoleh legitimasi dari KPU Surabaya. Di sisi yang lain lebih dari 50% warga Surabaya lebih asyik berlibur. Bagi mereka siapapun walikota tak bakal mengubah wajah kota. Mereka seolah lupa, 12 tahun yang lalu, mereka tak bakal bisa memilih calon walikotanya secara langsung karena sudah ada nama yang dititipkan dari rezim.

Di sisi yang lain, sebagaimana dikutip di atas, kehadiran Fitradjaja sebagai calon independen layak diapresiasi. Kemampuan lolos dari jebakan administrasi yang mensyaratkan batas minimal 3% adalah wujud gerakan pro rakyat yang masif. Meski demikian, gerakan itu belum cukup tangguh menggoyang licinnya dunia perpolitikan yang penuh pelumas.

Yang masih misteri hingga kini, berapa sih dana kampanye yang dihabiskan dalam pilwali ini? Dari mana saja?

(kkpp, 11.06.2010)

Standar
Politik

KAAI: Hanya untuk Lima

Kawan, sebagai rangkaian dari berbagai rally diskusi yang telah dijalani sejak pergantian tahun, resmilah sudah Komite Aksi Alumni ITS (KAAI) merilis dukungan untuk mendukung secara penuh pasangan calon walikota – wakil walikota Surabaya 2010-2015 nomor urut 5, yaitu Fitradjaja Purnama – Naen Suryono.

Bertempat di Nen’s Corner Cafe & Resto, Jl. Indragiri no. 5 Surabaya, di hadapan puluhan wartawan media cetak dan media internet, berikut ini adalah pernyataan resmi dari KAAI:

***

” … jadi pejuang yang tak kan kenal letih, membangun negeri … ” (hymne ITS)

Keberadaan Komite Aksi Alumni ITS (KAAI), yang dilahirkan pada bulan Maret 1998, sebagai wahana bagi alumni ITS yang kritis terhadap kondisi bangsa dan negara pada waktu itu, hingga kini tetap eksis di bidang sosial, politik maupun ekonomi kerakyatan.

Bila memperbandingkan kondisi politik era kelahiran KAAI waktu itu, hingga 12 tahun kemudian, tentu saja banyak terjadi perubahan. Kebebasan berkumpul dan berpendapat lebih terjamin hingga mampu menumbuhsuburkan partai politik.

Sayangnya, keberadaan partai politik belum menjawab kepercayaan rakyat. Masih jauh panggang dari api. Nuansa jual-beli suara masih terasa di sana sini. Tidak saja di tataran elit partai, juga terasa pada saat elit partai berupaya mendapat dukungan dari rakyat. ”Persekongkolan” berdalih koalisi pun oposisi lebih banyak terjadi sebagai cara untuk menaikkan posisi tawar antara satu partai dengan yang partai lainnya dengan menafikkan apa yang sebenarnya diinginkan rakyat sebagai pemilihnya.

Begitu halnya harapan untuk melihat partai politik sebagai kawah candradimuka kepemimpinan nasional tak terjadi. Partai lebih banyak mempertimbangkan untung rugi dari sisi materiil dibandingkan mengedepankan proses pembinaan kader secara internal. Bahkan integritas seorang kader yang loyal dan baik ternyata kalah dengan fungsi kekerabatan. Tak jarang pula diberitakan, seorang kader partai tertentu berpindah ke partai lain atas hal-hal yang tidak prinsipil. Keinginan mendapatkan restu dari elit politik, yang kental nuansa orde baru, lebih mengemuka dibandingkan nuansa partai yang sehat karena mengedepankan upaya bottom up yang lebih merakyat.

Menjelang pelaksanaan pemilihan umum walikota Surabaya 2010-2015 ini, KPU telah menetapkan calon-calon kontestan yang memenuhi persyaratan dan bahkan telah melalui pemilihan nomor urut yang akan digunakan. Sebagian besar (tiga dari lima) di antara calon-calon walikota tersebut dekat dengan kami karena mereka adalah saudara kandung. Saudara kandung se-almamater ITS.

Meski demikian KAAI menyatakan dukungan penuh untuk pasangan nomor LIMA, pasangan Fitradjaja Purnama – Naen Suryono, berdasar kedekatan cita-cita historis kelahiran KAAI dengan visi dan misi yang diemban oleh pasangan nomor LIMA tersebut, yaitu pasangan calon walikota – wakil walikota yang diajukan dari jalur independen oleh Konsolidasi Arek Suroboyo.

Sebagai langkah awal, KAAI akan berinisiatif untuk membuka ”DOMPET untuk Fitradjaja-Naen”, sebagai bentuk konkret dukungan tersebut. Upaya ini sejalan dengan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, serta partisipasi aktif dari rakyat pemilik sesungguhnya kedaulatan negeri ini.

Dengan upaya ini diharapkan para alumni ITS (serta simpatisan pendukung calon independen) dapat menyalurkan dananya untuk maksud-maksud pemenangan secara bertanggungjawab. Bukan sebagaimana ke-salah-kaprah-an yang terjadi selama ini, bahwa calon eksekutif dan legislatif adalah mereka yang bisa membeli suara rakyat, serta ke-salah-kaprah-an pula anggapan bahwa siapapun yang tidak bergelimang uang tidak dapat dipilih menjadi pemimpin negeri ini. Padahal seharusnya: SUARA RAKYAT tidak dapat DIBELI!

”DOMPET untuk Fitradjaja-Naen” yang akan mulai digulirkan sejak pernyataan sikap ini, berupaya agar setiap rupiah yang akan dihimpun melalui rekening bank1 maupun penggunaannya akan dipertanggungjawabkan melalui media internet2 dan media cetak.

Semoga atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa dan dukungan rakyat, kemenangan pemilihan umum walikota Surabaya 2010-2015 adalah kemenangan rakyat sesungguhnya.

Surabaya, 6 April 2010.

***

(kkpp, 07.04.2010)

Standar
Indonesiana

Fitradjaja – Naen, Pasangan Cawali Independen Resmi Didaftarkan KPU

KPU Surabaya

Siang itu, tanggal 17 Februari 2010, hari terakhir dari jadwal pendaftaran calon perseorangan yang ditetapkan KPU Surabaya, gedung KPU masih tampak berbenah. Beberapa tukang tengah bekerja mempercantik gedung yang dalam beberapa bulan mendatang bakal banyak menerima tamu.

Satu demi satu pendukung pasangan Fitradjaja Purnama dan Naen Suryono mulai berdatangan dari pelosok kota. Mereka tergabung dalam Konsolidasi Arek Suroboyo dengan berbagai latar belakang. Wajah tulus, wajah penuh harap akan pemimpin yang merakyat segera memenuhi halaman Jalan Adityawarman.

sang korlap

Menjelang pukul setengah tiga, para wartawan yang menunggu mulai gelisah. Sang korlap pun telah menyerukan untuk merapatkan barisan.

Bergantian para pendukung menyuarakan apa yang dirasakan dan diharapkan.

orasi: mamayu hayuning bawono

orasi: kita butuh pemimpin yang dekat dengan rakyat

rakyat kuasa

Bersama menyatukan tekat: bertanah air tanpa penindasan, berbangsa yang gandrung akan keadilan, berbahasa kebenaran.

satu tekat!

Ya, sembilan puluh lima ribu enam ratus dukungan telah dikumpulkan. Dari 153 organisasi, dari 124 kelurahan, 31 kecamatan. Sebagai syarat minimal yang telah ditentukan. Bermodalkan semangat untuk perubahan. Biar yang lain mengatakan kami fakir politik, tapi kami kaya idealisme.

berkas dukungan dari pelosok kota

“Inilah dukungan kami, Konsolidasi Arek Suroboyo, yang telah melalui berbagai tahap sebelum mencalonkan Fitradjaja Purnama – Naen Suryono,” ujar Muhaji, sang koordinator KAS didampingi Ketua Tim Pemenangan, Gunardi, seorang kawan yang pernah merasai penjara di jaman orde baru.

KPU pun menyatakan menerima pendaftaran dan memproses lebih lanjut sesuai dengan amanat Undang-undang dan peraturan yang terkait.

penyerahan dukungan secara resmi

pendaftaran5

Selamat berjuang, kawan Fitra. Satu tahap sudah dilewati. Masih banyak yang harus diperjuangkan.

[kkpp, 17.02.2010]

Epilog: pukul empat sore lebih, perlahan halaman gedung KPU telah menjadi sepi. dalam sebuah obrolan di warung kopi, bersama pak polisi yang masih bertugas, tiba-tiba pak polisi berkata, “endi calon’e mas? iki mau taufik yho?” katanya sambil merujuk sang korlap. saya mengiyakan sambil meneguk kopi susu. “ealah, mbiyen jaman songo wolu, yo sering eroh aku, pas melok pak oegroseno. ingatan saya lantas melayang jauh … teringat ke beberapa kawan yang dulu sering bersinggungan dengan pak oegroseno di bundaran its, dulu, 12 tahun yang berlalu.

 

Standar