Pertandingan English Premier League musim 2010-2011, gameweek ke-26, adalah salah satu gameweek yang sangat mengesankan. Pada pertandingan hari Sabtunya, dari delapan pertandingan, menghasilkan 41 gol. Atau rata-rata 5,125 gol per pertandingan. Suguhan yang sungguh menghibur bagi penontonnya. Pada gameweek itu pula, pimpinan klasemen sementara, Manchester United harus takluk dari juru kunci klasemen, sekaligus memecah rekor sang pimpinan klasemen yang belum kalah sekalipun dalam musim ini. Juga sebuah superb comeback dari Newcastle United. Ketinggalan empat gol di babak pertama, tetapi membalas dengan empat gol pula di babak kedua.
Tetapi bukan kejadian di hari Sabtu itu yang membuat hati saya kebat-kebit. Melainkan pertandingan yang berlangsung di Stamford Bridge-lah, pertandingan yang bakal menjadi debut Fernando Torres, si anak hilang yang memilih untuk hengkang ke Chelsea. (baca: Yang Datang dan Yang Pergi: Edisi Januari 2011).
Meski mencoba mengikhlaskan kepergiannya, atas nama pemain profesional yang berhak mencari pendapatan yang lebih baik karena kepindahan Torres memecahkan rekor transfer domestik seharga 50 juta pound, tetapi ada perasaan perih. Semacam patah hati atau sebangsanya.
Sehingga pada pertandingan itu, saya sangat menginginkan sebuah kemenangan bagi Liverpool FC, sebagai semacam pemuas balas dendam. Sebuah keinginan untuk menunjukkan bahwa pilihannya meninggalkan kami adalah keputusan yang salah. Mirip-mirip seperti seorang yang gadis ditinggalkan tunangannya menikah, dan si gadis ingin menunjukkan bahwa pilihan sang tunangan adalah sebuah kesalahan besar dalam hidupnya.
Sebuah harapan yang terasa muluk. Tetapi Genk Anfield benar-benar luarbiasa. Tampil penuh motivasi dan solid, mereka menang dengan skor tipis, 1-0 berkat gol Raul Meireles atas umpan Steven Gerrard, beberapa saat setelah si anak hilang ditarik keluar lapangan. Kemenangan yang sekaligus mencatatkan empat kemenangan beruntun dan empat cleansheet. Sebuah prestasi yang terasa mahal di era kepemimpinan Roy Hodgson.
Luar biasa. Lega harapan terkabul. Senang melihat Torres tak mendapatkan gol atas kami (meski dia bilang bahwa dia tidak bakal merayakannya jika mencetak gol pada game itu – bagaimana bakal merayakan, lha tidak ada gol kok, hehehe). Bangga dengan saudara-saudara travelling kop yang nonton langsung di stadion dan telah menggemakan chant-chant kami.
Jahatkah kami? Maaf, Senor Torres. Bagaimanapun kami adalah manusia yang punya perasaan. Dikhianati sungguh tidak enak. Maafkan pula bila ada beda perlakuan antara kasus Torres dengan kasus Benayoun yang sama-sama pindah ke Chelsea. Maafkan bila kasus Torres kemudian terasa bagai lanjutan kasus Michael Owen. Keduanya pernah merampok seluruh hati kami dengan memujanya, tetapi malah berbuat dengan menyakiti kami. Pindah di saat kami sedang jatuh dan memilih tempat singgah yang salah.
Maaf, karena kami (masih) punya perasaan.
***
Lepas dari euforia malam itu, sempat ngecek timeline twitter yang ramai dengan berita keruntuhan jembatan Stamford. Terselip kabar yang sungguh menyayat hati: kematian beberapa orang atas nama tuhan.
Speechless. Kehabisan kata menggambarkan kesedihan atas kejadian itu.
Karena kami punya perasaan, sungguh tidak habis pikir, bagaimana bisa menghilangkan nyawa orang sedemikian mudahnya atas alasan apapun, malah yang ini mengatasnamakan tuhan. Entah tuhan yang mana.
[kkpp, 07.02.2011]