Indonesiana, Sepakbola

Sepakbola (tak mau) Belajar dari Reformasi

Apa yang menghubungkan antara sepakbola dan reformasi? Tentu saya tak segera menghubungkannya dengan kata hubung “di”. Terlalu mudah jawabnya bila seperti itu, karena jawabannya kemudian menjadi: sepakbola direformasi.

Mari sedikit memperluas. Mengapa tidak mencoba menghubungkannya dengan “euforia”? Masih ingat “euforia”? Sebuah kata yang bagi khalayak umum, tak banyak yang tahu. Arti sesungguhnya, sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah perasaan nyaman atau perasaan gembira yang berlebihan. Persis di bawah kata euforia di KBBI tersebut, terdapat kata ”euforian”, yang berarti sebagai obat yang digunakan untuk menghilangkan depresi dan merangsang rasa nyaman.

Dari dua kata itu, dapat disimpulkan bahwa euforia adalah sebuah perasaan nyaman yang sementara, karena dihasilkan oleh obat yang merangsang hadirnya rasa nyaman. Sementara, kita sering menggunakan atau memaknai euforia dalam makna keduanya: perasaan gembira yang berlebihan.

Kata euforia ini terasa sering muncul di media massa saat masa reformasi, tahun 1998-an. Pada saat itu, tiba-tiba semua orang merasa dekat dengan reformasi. Mereka meneriakkannya di jalanan, membicarakannya di warung kopi dan pasar, dan muncul hampir di setiap pemberitaan. Para koruptor, para penjilat penguasa orde baru, tiba-tiba kemudian menjadi sosok yang reformis. Tetapi efek dari reformasi itu sendiri tak terasa, menguap sebagaimana efek obat yang sudah kehilangan khasiat seiring sang waktu.

 

Suporter Indonesia pada AFF Cup 2010 (sumber: http://www.affsuzukicup.com)

Demikian halnya dengan, sepakbola Indonesia. Keberadaan kesebelasan nasional yang dilatih Alfred Riedl, yang bertanding pada Kejuaraan AFF Cup akhir tahun 2010, tiba-tiba memantik kegembiraan bagi setiap rakyat. Persis sebagaimana euforian memantik euforia. Jersey tim nasional yang dikeluarkan oleh Nike sebagai apparel resmi, sampai kehabisan stok. Keberadaan jersey KW (baca: kualitas) 1, KW2 hingga KW tak terhingga menjamur, menggerakkan perekonomian riil.

Jika semula pendukung yang datang ke stadion seringkali dicap sebagai warga kelas dua, tukang bikin onar, lusuh, kini harus bersaing dengan artis-artis cantik nan mulus yang berebut disorot kamera yang menayangkan secara langsung. Bahkan rombongan pejabat pun berebut untuk dapat masuk ke stadion mengenakan kaos berlogo Garuda.

Berita tim nasional sepakbola Indonesia telah dan pernah menjadi headline media nasional, menyisihkan hiruk pikuk perpolitikan, menepikan kesedihan wajah bencana yang kerap menghiasai pertiwi, bahkan siaran langsung timnas sepakbola menjadi pilihan utama selain sinetron di jam utama.

Kini, setelah sebulan usai perhelatan AFF Cup 2010, saya sungguh khawatir bahwa sepakbola Indonesia sedang mencecap euforian. Tepat sebagaimana yang dirasakan rakyat Indonesia tahun 1998-an, yang hanya sekedar mencecap euforian reformasi.

***

Euforia sepakbola pada 2010 menunjukkan bahwa sepakbola adalah salah satu cabang olahraga utama yang bisa menyatukan seluruh rakyat Indonesia. Untuk sejenak, pertikaian bahkan permusuhan abadi antar pendukung klub terlupakan. Semua bersatu menjunjung tim merah putih. Dalam pembicaraan pribadi, salah seorang pembina olahraga yang merasa cukup berhasil membina sebuah klub untuk berprestasi di level Asia, sempat menyatakan keiriannya atas perlakuan yang diterima sepakbola. “Lihatlah, prestasi (sepakbola) tidak ada apa-apa dengan yang telah kami persembahkan, tapi sepakbola sungguh bisa mencuri hati seluruh rakyat,” ujar sang pembina.

Saking besarnya potensi itu, maka mau tak mau kekuatan politik mencoba menggunakannya sebagai salah satu alat untuk memperkuat posisi politiknya. Meski upaya politisasi sepakbola ini sebenarnya sudah terasa di daerah saat perebutan klub yang didanai APBD, tetapi ajang AFF Cup kemarin, semakin menunjukkan bahwa sepakbola adalah salah satu hal yang harus secepat mungkin dikuasai. Semua partai besar, tiba-tiba mengklaim, bahwa mereka punya andil. Mengenaskan. Tapi bagaimana lagi.

Kondisi yang mirip dengan euforia reformasi 98. Semua pihak tiba-tiba mengklaim dirinya sebagai lokomotif reformasi. Tetapi tak tahu, reformasi seperti apa yang hendak dijalankan. Karena waktu itu, isu reformasi benar-benar disukai oleh rakyat. Melawan isu reformasi, harus bersiap melawan kekuatan pasar.

Tahun 98, reformasi seolah adalah sekedar menurunkan Soeharto, Presiden yang sedemikian kuat saat itu. Sementara isu reformasi masih belum secara aklamasi disepakati pada poin-poin apa saja. Waktu kemudian menunjukkan, meski memang ada perbaikan, tetapi perubahan itu tentu saja tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan saat reformasi digulirkan dan menjadi populer. Saat euforian telah larut, bola liar ternyata masih dikuasai oleh sisa-sisa rejim. Sehingga perubahan pun adalah perubahan yang malu-malu.

Demikian halnya dengan euforia sepakbola nasional tahun 2010. Meski keberhasilan menembus babak final tetapi gagal menjadi juara, dapat dipahami oleh pendukung merah-putih, tetapi revolusi PSSI tetap ramai didengungkan dan dipahami sebagai cara untuk menurunkan Nurdin Halid dari tampuk kepemimpinan PSSI.

Nurdin Halid benar-benar mencengkram penuh kursinya erat. Persis seperti Soeharto sebelum tahun 1998 mencengkram erat kursi kepresidenan. Susah berharap pada peserta Kongres PSSI untuk membersihkan PSSI dari Nurdin dan kroni-kroninya, persis sebagaimana tak bisa berharap pada anggota MPR waktu itu untuk tidak memilih Soeharto. Aturan dan perundangan hanyalah legitimasi kekuasaan belaka.

Tetapi, percaya Nurdin Halid tidak dapat diturunkan adalah sebuah kemusyrikan. Seharusnya kita, pecinta sepakbola nasional yang menginginkan sepakbola Indonesia yang lebih baik, tetap berupaya untuk menggalang sebuah kekuatan yang dapat mengetuk bahkan menggedor teralis beku mafia PSSI. Tentunya sembari dengan menyiapkan konsep revolusi PSSI sampai mati dalam bentuk konsep detil: kompetisi yang sehat dan jujur, profesional dan bukan sebagai lintah anggaran negara dan daerah. Yang utama, jangan biarkan pahlawan-pahlawan kesiangan menyerobot isu penting itu demi kepentingan kelompok, persis sebagaimana yang terjadi pada euforia reformasi.

Sepakbola nasional, belajarlah dari reformasi!!

[kkpp, 31.01.2011]

Standar