Indonesiana, photography, Travelling

Berkunjung ke Ibukota Masa lalu (2)

Di tulisan terdahulu, kami mengawali perjalanan ke Trowulan terlebih dahulu ke Gapura Wringin Lawang dan Gapura Bajang Ratu. Masih di sisi selatan jalan raya Surabaya-Yogyakarta, kami melanjutkan ke Candi Tikus yang tak jauh dari Bajang Ratu.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini sudah banyak mobil yang parkir di pinggir jalan. Bahkan ada rombongan yang menggunakan mobil kelinci (istilah kami untuk mobil yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memungkinkan memuat lebih banyak penumpang, dengan di sisi kiri dan kanan terbuka, di sisi luar penuh dengan gambar yang memikat anak-anak).

Candi Tikus berbentuk sebagaimana kolam dengan beberapa bangunan di dalamnya, dengan ukuran 29,5 x 28,25 meter, dan menariknya terletak 3,5 meter lebih rendah dari tanah permukaan sekeliling. Karena berbentuk kolam itu, maka pada awal penemuannya pada tahun 1914, candi ini terpendam tanah di sebuah pekuburan rakyat. Awalnya hanya dikira sebagai sebuah miniatur candi, tetapi setelah dilakukan pemugaran secara menyeluruh pada tahun 1983-1985, jadilah sebagaimana foto di atas, sebagaimana yang bisa kita saksikan saat ini.

Di sisi utara, terdapat tangga turun selebar 3,5 meter. Juga terdapat selasar yang memungkinkan untuk mengelilingi bangunan candi. Anak-anak pasti menyukai situs ini karena ada selasar dan tangga-tangga, serta ikan-ikan, tapi tetap awas karena jika lengah bisa kecemplung kolam yang dalamnya 1,5 meter.

Bayangan menara yang menyerupai Mahameru

Ada yang menduga bahwa kolam ini berkenaan dengan sistem penampungan air yang digunakan penduduk ibukota Majapahit, tetapi mengingat adanya bentuk “meru” pada menara yang mirip dengan konsep Mahameru di India sehingga dugaan lainnya lebih kuat yaitu sebagai petirtaan yang terkait dengan pemujaan. Atas dugaan ini, maka bangunan ini layak mendapatkan sebutan sebagai sebuah candi yang sebenarnya.

Soal nama “tikus”, semata merujuk pada saat penemuan situs ini dimana masyarakat setempat banyak menemukan tikus. Mirip-mirip penamaan Gapura Wringin Lawang, yang dinamakan “wringin” karena pada saat itu ditemukan pohon beringin di sekitarnya.

Jika sampai di sini, sempatkan sejenak untuk mengisi buku tamu, membaca keterangan singkat tentang candi yang tertera pada kantor depan, dan … berpose!! Hehehe.

Berpose 1 - Pakai handphone pun jadi ...

Berpose 2 - Selasar merah bata

Berpose 3 - Biar panas, tak mati gaya ...

Oia, menurut informasi, di sekitar Candi Tikus ini akan dibangun sebuah tempat peribadatan Hindu, tetapi belum dapat terealisasikan karena sesuatu hal.

Hari kian panas, maka kami melanjutkan ke Museum Trowulan.

***

Museum Trowulan, atau yang sejak 2008 dikenal sebagai Pusat Informasi Majapahit, juga terletak di sisi selatan jalan raya Surabaya-Yogyakarta. Setelah berpanas-panas, berturut-turut dari Wringin Lawang, Bajang Ratu, dan Candi Tikus, di sini bisa sedikit ngadem. Tentunya sambil menikmati koleksi-koleksi yang telah diketemukan sejak jaman penjajahan (sambil mikir, berapa ya yang sudah dikirim ke Leiden sana).

Parkiran cukup luas. Seperti siang itu, ada beberapa bus pariwisata serta beberapa kendaraan roda empat yang telah parkir mendahului kami. Juga tersedia masjid bagi yang hendak melakukan kewajiban.

Hanya bisa foto di luar museum

Sayangnya keasyikan ngintip viewfinder harus terhenti di pintu masuk museum. Ada larangan untuk mengambil foto di area museum. Meski ada beberapa pengunjung yang nekat, saya yang tak sibuk dengan kamera malah banyak melamun, membayangkan suasana Majapahit dari artefak, benda-benda peninggalan, serta keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak pengelola museum (saat ini dikelola oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala -BP3- Jawa Timur).

Di museum juga memuat banner-banner berisi keterangan tentang candi-candi yang terkait dengan Majapahit. Tiga lokasi terdahulu juga ada disebutkan. Tak salah, beberapa rombongan memilih untuk datang lebih dahulu ke museum, baru kemudian menjelajah beberapa situs terkait. Sementara kami, memilih berdasarkan urutan kemudahan akses geografis.

Jangan khawatir, jika belum sempat membaca-baca literatur tentang Majapahit, di museum sudah memberikan keterangan yang diperlukan. Termasuk silsilah raja-raja Majapahit.

Puas mengitari museum, kami melanjutkan perjalanan dengan tidak mampir ke beberapa situs di Trowulan. Misalnya, Kolam Segaran,  Makam Troloyo, Makam Putri Campa, Candi Kedaton. Bisa di kemudian hari. Kali ini, karena telah siang, kami bermaksud menuju dua objek selanjutnya, yang berada di sisi utara jalan raya Surabaya-Yogyakarta. (bersambung)

[kkpp, 07.07.2011]

Sila mampir juga ke:

Situs Arkeologi Indonesia Terjadul

Memory of Majapahit

Standar