Entah mengapa saya pengin sekali menulis dengan judul itu: Fashion dan Function. Jarang-jarang saya menulis bermula dari ide tentang judul. Mungkin dari segi pelafalan kedua kata dalam bahasa Inggris itu berima sama. ‘Fesyen’ dan ’fangsyen’ di sisi yang lain terdengar enak di telinga. Keduanya yang bermakna secara berbeda, tetapi seringkali kita dapati bagai dua sisi yang melekat pada sebuah keping koin. Aspek ‘nggaya’, ‘modis’, ‘trendy’ di satu sisi, bertemu dengan aspek asas manfaat, asas kegunaan di sisi yang lain.
Lihat di sekitar kita. Tak jauh-jauh, telpon seluler (ponsel) -barang yang kini bila ketinggalan sering dibelain untuk diambil lagi- dari segi aspek fungsi adalah alat komunikasi yang menghubungkan dengan seseorang yang terpisah jarak. Bisa lewat suara, bisa juga lewat media pesan singkat yang langsung terbaca. Tapi tak cukup dengan aspek itu. Telpon genggam kini juga bagian dari cara kita tampil ‘nggaya’, sebuah bagian tak terpisahkan dari gaya hidup kita, sebagaimana pilihan atas baju, sepatu, tas, jam tangan serta model rambut.
Sayangnya, pilihan tampil ‘nggaya’, itu terkorelasi dengan harga. Sudah jamak, bila ada yang menganggap harga yang mahal itu identik dengan semakin modis atau tidaknya suatu penampilan.
Kembali ke contoh semula, ponsel, jika makin mahal sebuah ponsel, maka makin tampak keren lah si pemakai. Sementara dari sisi produsen, makin mahal sebuah produk ponsel, maka si produsen harus menambah feature agar produk yang ditawarkan dengan lebih mahal itu berdaya jual. Akan tampak mengada-ada bila menaikkan harga barang tanpa ada peningkatan nilai guna suatu barang. Konyolnya, kadang peningkatan nilai guna itu hanya dari sisi fashion-nya dan bukan dari aspek fungsionalnya yang signifikan. Atau, kekonyolan lainnya, jika memang produk itu kemudian bertambah ‘feature’nya, eh, si pengguna ternyata tak menggunakan feature itu. Blackberry misalnya, beberapa pengguna malah tak memanfaatkan feature push email-nya.
***
Sebuah kebetulan saat kedua kata itu mondar-mandir di kepala, bertepatan dengan hari pahlawan tahun 2011, Toyota dan Daihatsu me-launching New Avanza Xenia. Iklannya sehalaman koran penuh, baik di media nasional dan media daerah. Soal marketing, keduanya adalah jagonya. Terbukti, baik avanza maupun xenia sejak pertama kali di-launching, seakan menjadi mobil sejuta umat. Avanza dan Xenia menjadi pilihan bagi kendaraan operasional perusahaan pun juga keluarga menengah. Secara aspek fungsi, Avanza Xenia memenuhi aspek nilai guna sebagai alat transportasi darat yang ekonomis, memuat 7 penumpang, dan juga tidak tampak jadul.
Pertanyaannya, mengapa kemudian Toyota dan Daihatsu harus mengeluarkan varian terbaru dari Avanza Xenia? Padahal kalau diamati, posisi Avanza Xenia di pasar juga masih menjadi raja jalanan tanpa harus mengeluarkan varian terbarunya. Data semester pertama 2011, si Avanza saja mencatat prestasi penjualan 1 dari 5 mobil terjual adalah Avanza. Belum jika ditambah dengan prestasi si Xenia.
Jawaban yang pertama muncul di kepala saya atas jawaban di atas, ya terkait dengan fashion. Toyota-Daihatsu, sebagai produsen yang memahami betul pasar Indonesia, mau tidak mau memang harus mengikuti selera pasar. Pasar yang suka ‘nggaya’, ya harus dipenuhi dengan aspek fashion-nya. Beberapa hari terakhir, sudahkah dengar ada yang bilang, “Aku udah pesan New Avanza lho… Indent juga gak apa-apa”. Nah lho, padahal dari sisi fungsi, si calon pembeli yang indent tadi memang memerlukan kendaraan keluarga yang ekonomis, tapi baginya, jika memang ada model yang terbaru, mengapa tidak.
Seperti dilansir Republika online (20/11, bisa baca di sini), Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor (TAM) Joko Trisanyoto menyampaikan bahwa sampai 14 November 2011 (hanya dalam waktu empat hari), permintaan All New Avanza dan Veloz telah menembus angka 14 ribu unit yang diperkirakan baru Januari atau Februari 2012 akan diserahterimakan.
***
Kisah fashion dan fuction tak hanya dijumpai pada kisah New Avanza Xenia. Apalagi jika Anda termasuk suka tampil ‘nggaya’ tetapi melek teknologi untuk mempertimbangkan aspek fungsional dari suatu barang. Coba tengok lengan bawah tangan Anda, adakah jam tangan melingkarinya? Padahal fungsi jam, juga dijumpai di ponsel yang juga selalu dibawa kemana-mana bukan? Lantas, mengapa masih pakai jam tangan? Semata ‘nggaya’ atau semata kebiasaan untuk melirik sang waktu dengan melihat pergelangan tangan?
Jadi sulit memang memisahkan antara fashion dan function secara hitam putih. Melupakan aspek fashion, berarti seolah telah menjadi sufi, tetapi di sisi yang lain ekonomi tak bergerak. Sementara melupakan aspek function, terlihat seperti kerbau yang dicocok hidungnya, dungu karena hanya diperbudak keinginan terlihat trendi.
Yang terpenting, ketahui kekuatan kantong Anda, mau cenderung ke sisi fashion pun function atau memadukan keduanya, boleh-boleh saja asal tidak jadi besar pasak daripada tiang.
[kkpp, 20.11.2011]
Keping terkait:
– Besar Pasak daripada Tiang
Menyukai ini:
Suka Memuat...