Jauh sebelum masa popularitas futsal, di dekat kantin kami, dulu ada sebuah petak tanah nganggur. Dekat telepon umum koin, serta diapit oleh parkiran sepeda motor MIPA dan parkiran kantin. Entah siapa yang memulai ide nakal itu, tiba-tiba saja kami menyulap lapangan itu menjadi lapangan sepakbola. Tentu saja dengan ukuran yang sangat jauh dari memadai. Tiang gawangnya dari bambu yang tidak simetris. Masih banyak batu, rumput yang sangat tidak rata, bahkan menjadi kubangan lumpur saat hujan datang. Kadang kalau kami kehilangan keseimbangan, banyak yang terperosok di got sebelah parkiran sepeda motor, dan tentu saja menabrak pagar parkiran yang tak seberapa tinggi.
Tapi kami dulu sangat menyukai lapangan kecil itu. Setiap sore, bahkan juga tak peduli bila sore itu adalah kala menunggu buka puasa ramadhan, kawan-kawan banyak yang antri. Sedemikian banyak sehingga kami pun tak peduli bila kemudian yang bermain di lapangan melebihi jumlah kesebelasan yang normal. Sementara yang berpuas sekedar jadi penonton juga tak kalah banyak.
Ya, di sepetak tanah itu, telah menjelma menjadi perluasan bagi kantin kami yang egaliter. Tak ada beda angkatan, tak ada beda ideologi. Semua disatukan keinginan yang sama: berbagi keriangan serta berbagi keringat. Semua berhak berteriak, semua berhak menendang, semua berhak tertawa bila ada kejadian lucu. Tak peduli bahwa yang diketawain adalah senior pun jagoan-jagoan kegiatan mahasiswa.

Toto, seusai acara futsal yang digelar IKA ITS Jakarta Raya, setahun yang lalu. (Courtessy: Nelly R)
Di sana pula saya mengenal Barito lebih dekat. Bukan semata sebagai kawan yang sama-sama turut dalam barisan demo 98-an.
Barito adalah anak elektro angkatan 97. Saya dan dia berselisih empat angkatan, beda jurusan dan fakultas.
Sosoknya yang setinggi 180an, tentu saja menonjol di lapangan yang sepetak itu. Saat bubar acara sepakbola, biasanya Barito melepas kaosnya yang basah kuyup sembari melintas kantin menuju sekretariat Siklus (unit kegiatan pecinta lingkungan hidup) yang terletak di salah satu pojok kantin. Dirinya memang anggota Siklus, bareng satu angkatan dengan beberapa kawan yang lain, diantaranya adalah kawan Tenno dan Superbagong.
Gayanya menyelempangkan kaos yang basah usai sepakbola, persis dengan gayanya menyelempangkan jas almamater usai berdemo. Dan tentu saja, senyum nyengirnya dan becandaannya tak pernah lepas.
***
Ramadhan 1431 ini, tiba-tiba saja berita tentang kawan Barito, yang biasa kami panggil Toto, segera menyebar. Dari kawan-kawan Siklus, kemudian beredar dari milis ke milis, dan tentu saja di media sosial macam facebook dan twitter. Dikabarkan, Toto divonis menderita leukimia yang senantiasa membutuhkan donor darah AB+. Asuransi yang meng-cover biaya kesehatannya sudah melebih batas, sehingga kawan-kawan alumni Siklus memprakarsai aksi solidaritas untuknya.
Hingga memang Sang Pemilik Waktu memanggilnya mendahului kami, Sabtu 28 AgustusĀ 2010, menjelang pukul tujuh malam waktu RS Dharmais Jakarta. Inna lillahi wa inna ilahi rojiun.
***
Beberapa tahun yang lalu, obrolan empat mata kami yang terakhir adalah di saat Toto menunggu antrian wawancara di kantor saya. Cukup lama, karena Toto mendapat giliran akhir.
Dengan mudah Toto melalui tes itu dan kemudian bergabung dengan kantor saya tetapi di Jakarta. Lepas masa kontrak, Toto kemudian ditempatkan di kantor cabang Balikpapan. Hingga saat itu kami cuma bertelepon meski saya dan dirinya berbeda group dan cabang.
Di Balikpapan Toto menemukan jodohnya. Waktu itu saya hanya dapat membaca undangan pernikahan yang dikirimkan ke kantor, tanpa bisa menghadiri acara resepsi. Setelah itu, Toto kemudian berpindah ke lain ladang penghidupan, hingga kemudian terdengar Toto sudah kembali ke Jakarta.
Tak ada yang menyangka kehendak-Nya, bahwa di Jakarta itulah Toto mengakhiri kewajiban di dunia, dan kemudian dimakamkan di Palembang.
Selamat jalan, Kawan. Semoga Allah memberikan ampunan dan tempat terbaik di sisiNya.
(kkpp, 29.08.2010)