Sabtu pagi itu aku baru saja terlelap beberapa saat, Nuha, putri kesayanganku yang belum genap berusia enam tahun membangunkan aku sambil mengajukan pertanyaan.
“Yah, hari ini ayah (bermain) bridge apa tenis?”
Masih setengah sadar, aku menggumam, “hmmm”.
Nuha mengulang pertanyaan yang sama dan kemudian melanjutkan, “Pilih salah satu”.
Sontak aku terbangun. Kalimat yang terakhir yang meluncur dari mulut mungilnya membuatku segera tersadar meski mata terasa pedas. “Kenapa, mbak?” aku membalas bertanya.
“Kalau ayah tenis (biasanya aku bermain tenis di Sabtu pagi), ayah gak boleh bridge karena ngantar aku ke Indomaret setelah balet, tapi kalau ayah bridge, ayah gak boleh tenis karena ngantarnya pagi aja, yah …”
***
Aku terhenyak bukan karena kesulitan memilih jawaban. Tetapi, kalimat yang disampaikan Nuha, pilih salah satu, adalah kalimat yang biasa aku gunakan bila putriku itu mulai merengek-rengek banyak permintaan.
Persis sama. Intonasi serta susunan kata-katanya.
Sengaja aku menggunakan kalimat itu, meski sebenarnya bisa saja memenuhi semua rengekan. Sengaja aku menggunakannya karena bukankah kehidupan ini belum tentu dapat memenuhi semua permintaan kita. Sengaja aku menyampaikan hal itu semata karena ingin mengajari sang buah hati agar belajar untuk memilih. Sengaja mengajarinya sejak dini, bahwa kelak, dia harus memilih, karena tak semua keinginan bisa dilakukan semua secara serempak. Sebagaimana bapak mengajariku selama ini bahwa hidup adalah pilihan-pilihan berkonsekuensi.
Dan kini Nuha menggunakannya dengan cara yang sama. Dengan cara yang tidak disadarinya, Nuha justru mengingatkan aku kembali tentang hidup adalah pilihan-pilihan berkonsekuensi. Sungguh, aku bersyukur dikaruniai mereka-mereka yang (telah dan tengah mencoba) memahami pilihan-pilihan yang telah aku buat selama ini sembari pula aku menengadahkan tangan, memohon agar diberikan kekuatan untuk mampu memilih dan menanggung segala konsekuensi atas pilihan itu.
[kkpp, 18.04.2010]